Mobil listrik menciptakan gelombang besar di dunia otomotif. Infrastruktur dan jumlah produksi tampaknya akan meningkat drastis dalam beberapa tahun ke depan. Mengemudi mobil listrik akan menjadi lazim bagi banyak orang dan pemerintah serta perusahaan energi menetapkan tujuan besar untuk mewujudkannya.
Kehadiran Pertama
Kehadiran DFSK Gelora E sebagai kendaraan listrik ringan seratus persen energi listrik dan hemat energi pertama di Indonesia menawarkan solusi mobilitas hemat energi. Mobil van ini adalah wujud pendekatan ekologis menuju masa depan yang berkelanjutan, siap mengoptimalkan berbagai bidang bisnis seperti transportasi, pariwisata, logistik dan katering.
“DFSK (PT Sokonindo Automobile) menawarkan sebuah solusi mobilitas hemat energi dan ramah lingkungan yang bisa digunakan untuk mengakselerasi perkembangan usaha di masa depan. Ini menjadi salah satu keunggulan yang dimiliki oleh DFSK Gelora E berkat teknologi listrik,” ungkap PR & Media Manager PT Sokonindo Automobile, Achmad Rofiqi.
DFSK Gelora E adalah kendaraan ramah lingkungan yang sepenuhnya menggunakan listrik dan tidak mengeluarkan karbon dioksida. Mesin pembakaran internal (ICE), yang masih umum digunakan pada kendaraan komersial ringan, telah diganti dengan motor penggerak tenaga listrik dan ditenagai oleh baterai listrik.
Baterai yang berkapasitas 42 kWH dan mampu memberikan energi DFSK Gelora E hingga 300 kilometer ini sudah berteknologi Lithium-ion. Pengisian daya tidak memakan waktu lama karena kemampuan fast charging, yang hanya membutuhkan waktu 80 menit untuk mengisi daya dari 20% hingga 80%.
DFSK Gelora E tidak hanya menerapkan konsep kendaraan yang ramah lingkungan, namun juga didukung dengan efisiensi energi yang tinggi sehingga dapat menekan biaya operasional kendaraan. DFSK Gelora E hanya membutuhkan biaya energi sebesar Rp 210 per kilometer.
DFSK Gelora E Minibus hadir dengan kapasitas 7 penumpang. Model Minibus yang ditawarkan ini sangat cocok untuk digunakan sebagai kendaraan angkutan umum, travel, kendaraan shuttle, antar jemput karyawan, bahkan mendukung sektor pariwisata.
Tantangan
Meski menggunakan sistem built up dari Tiongkok, kendali kemudi DFSK Gelora E yang merambah ke Indonesia sudah berada di bagian kanan. Ini merupakan salah satu wujud keseriusan DFSK dalam pengembangan mobil listrik. Wujud lainnya terpancar dari penggunaan jenis van, agar multiguna dan sesuai dengan daya beli masyarakat.
Namun di sisi lain, CEO Sokonindo Automobile Alexander Barus mengatakan, “tingginya angka import duty (40 persen) agak mengusutkan benang mimpi yang sedang dirajut. Angka itu mencekik DFSK hingga kini kesulitan menjalankan mimpinya. Alhasil, harga mobil per unit ikut meroket.”
Mungkin yang bisa merenggangkan jeratan tersebut ialah pemerintah. Bila saja diberikan insentif selama dua tahun atau kurang lebih 10.000 unit impor, DFSK bisa bernafas lega. Maka dari itu, belum saatnya pabrik DFSK di Cikande berevolusi menjadi kreator mobil listrik, jika pasar dan ekosistem belum terbentuk.
“Kenapa kita beri nama Gelora, karena kita merencanakan produksi di Indonesia. Semoga pemerintah memberikan dukungan di awal pertumbuhan mobil listrik. Jangan sampai kita menjadi objek penjualan mobil listrik negara lain” tambahnya.
Sebenarnya DFSK Gelora E mempunyai kembaran berbahan bakar bensin. DFSK juga memproduksi mobil listrik sejenis Tesla bernama Seres. Sayangnya, belum ada kans bagi Seres memutarkan rodanya di Indonesia.
Indonesia Morowali Industrial Park
Beredar angin segar bahwa Indonesia dapat merajai produksi baterai mobil listrik terbesar di dunia. Menurut CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus, banyak hal yang harus diperhitungkan, salah satunya dukungan penuh dari pemerintah.
Perusahaan yang mendirikan Kawasan Industri di Morowali, Sulawesi Tengah tersebut tengah mengupayakan agar Indonesia bisa menjadi pemain kunci baterai mobil listrik. Di samping pengolahan bahan baku stainless steel, nikel yang diolah di smelter IMIP bisa menghasilkan bahan baku katoda, komponen dari baterai mobil listrik. Bahan itu didapat dari nikel berkadar rendah (1,5%), melalui proses High Pressure Acid Leaching (HPAL).
Mimpi yang besar ini harus memerangi musuh besar berupa kendala lingkungan. Volume Waste Tailing (limbah) yang dihasilkan cukup besar, sehingga butuh lahan pembuangan yang besar pula.
“Yang kita gunakan nikel kadar rendah (1,5%). Dari satu ton diambil 1,5%. Lalu kobalt, mangan, dan bahan lain sebesar 0,5%, sehingga jadi 2%. Lalu, proses moisture-nya sekitar 33%. Total menjadi 35%, sehingga kembali ke alam 65%,” ungkap Barus.
Agar Waste Tailing tidak berakhir di dalam laut, dibutuhkan lahan yang cukup luas. Tentunya butuh bantuan berupa persetujuan dari pemerintah, agar pengadaan lahan dapat terlaksana. Perhitungan ini belum termasuk dengan kendala biaya yang harus dihadapi nanti. Namun demikian terkait Waste Tailing, terpancar harapan yang sekiranya bisa menjadi solusi yang tepat.
“Limbah ini sebenarnya bisa digunakan untuk pembuatan aspal. Paling tidak untuk material penimbunan dan bahan konstruksi, dari pada gali gunung dan sungai. Kembali, kuncinya di KLHK dan BPPT. Lebih baik tidak disebut Waste Tailing tetapi By Product, sehingga bernilai positif untuk ekonomi,” lanjut Barus.
Nantinya, Waste Tailing tersebut bisa digunakan untuk pembangunan. Sangat mungkin mengkonversinya menjadi pendapatan jika sudah mendapat izin.
HPAL Mini Plant
Bila kendala sudah terselesaikan, akan dibangun empat pabrik pengelolaan nikel dengan kapasitas 240 ribu ton nikel murni dan satu daur ulang baterai bekas. Dari dua tahun lalu, IMIP sudah menyusun eksperimen berupa HPAL Mini Plant untuk melatih siswa Politeknik Industri Logam Morowali. Sehingga bila sudah terbangun, IMIP tidak perlu melakukan impor terkait SDM.